Tulisan Artikel
Harta dan Hak Milik dalam IslamDitulis pada hari Rabu, 12 Februari 2014 | 08:44 WIB | Oleh : Toni Regal, SE, Sy. HARTA DAN HAK MILIK DALAM ISLAM Oleh: Toni Regal, SE. Sy. A. PENDAHULUAN Islam meletakkan harta sebagai salah satu keperluan pokok di dalam kehidupan manusia. Bagi memenuhi tuntutan tersebut, Islam telah menyediakan beberapa sistem yang dapat merealisasikan kenyataan itu dengan baik. Allah Swt menyediakan harta khusus untuk menjamin kepentingan manusia supaya bisa hidup dengan baik dan sempurna. Setiap manusia di dunia berhak untuk memiliki harta. Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhan pokoknya serta bisa saling tolong menolong antar sesama bagi yang kekurangan. Tidak semua harta yang kita miliki sepenuhmya milik kita. Ada sebagian dari harta kita yang menjadi hak-hak orang lain yang wajib kita salurkan melalui zakat, infak, sadekah dan lain-lain. Dengan adanya penyaluran harta yang menjadi hak orang lain diharapkan akan terjadi keadilan dan kesejahteraan yang merata diantara manusia. B. PEMBAHASAN 1. Definisi Harta Harta didalam bahasa Arab disebut al-maal atau jamaknya al-amwal, artinya ‘sesuatu yang digandrungi dan dicintai oleh manusia’. Al-muyul yang artinya ‘kecenderungan’ mempunyai akar kata yang sama dengan al-maal, yaitu sesuatu yang hati manusia cenderung ingin memilikinya . Harta menurut Al-Mu’jam Al-Iqtishod Al-Islamy, adalah ma malaktahu min jamii’i al-asyyaau (apa yang engkau punyai dari segala sesuatu). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi, dan hibah atau pemberian . Sedangkan harta menurut istilah Hanafiyah ialah ‘Sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan kemungkinan untuk disimpan hingga dibutuhkan’. Sedangkan menurut sebagian ulama yang dimaksud dengan harta ialah ‘Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau akan menyimpannya’ . Berdasarkan pengertian tersebut, maka seluruh apa pun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta. Kekayaan bukanlah tujuan pokok manusia di muka bumi, melainkan sarana bagi seorang Muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah. Ia wajib memanfaatkan kekayaan tersebut demi pengembangan potensi manusia dan meningkatkan kesejahteraan manusia di segala bidang. Peningkatan kekayaan demi realisasi tujuan utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, adalah sarana terbaik bagi akhirat . 2. Sifat-Sifat Harta a. Harta adalah Perhiasan Dunia Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati kebahagiaan dan kebaikan di dunia.Keadaan ini merupakan sebagai pendorong agar dapat meningkatkan kualitas hubungan dengan Allah Swt. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah sesuatu yang hina, karena Allah Swt menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.(QS Al-Kahfi; 46). Pada ayat diatas dikatakan bahwa harta adalah perhiasan hidup. Harta menjadi sesuatu yang disenangi untuk dimiliki, dipergunakan bahkan sekedar untuk dilihat. Dengan harta sesuatu menjadi mudah, dengan harta sesuatu menjadi indah . b. Harta adalah Ujian Harta juga merupakan ujian dari Allah Swt. Allah akan menguji mereka yang telah mendapatkan harta bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan harta tersebut . Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS Al-Baqarah: 155). Harta juga merupakan ujian kenikmatan yang diberikan Allah untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau menjadi kufur. Maka, harta disebutkan oleh Allah sebagai fitnah atau ujian . Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan”. (QS Al-Anfal: 28). 3. Harta Yang Baik dan Harta Yang Buruk Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan, bukan suatu keburukan dan tidaklah tercela. Harta yang baik adalah jika diperoleh atau di dapatkan dengan cara yang halal, tidak berlaku zalim dan tidak dengan cara-cara yang batil serta digunakan menurut tempatnya . Harta itu dapat terpuji, jika telah terpenuhi beberapa syaratnya, yakni harta itu digunakan menurut jalan yang dibolehkan hukum syara’, diambil menurut haknya, diberikan menurut tempat haknya, dan dipakai menurut haknya pula. Sebaliknya, harta yang tercela yaitu harta yang dijadikan objek tujuan, serta sebagai perlindungan terhadap harta yang ditimbunnya. Kemudian menahan terhadap orang lain dari pemanfaatan harta yang seharusnya beredar dari tangan yang satu kepada tangan lainnya. Sehingga akan timbul sifat kikir atau memejamkan mata . Perbuatan kikir sama halnya dengan orang yang menimbun harta, yaitu menahan hartanya karena ia sangat cinta serta mengikuti bisikan syaitan dan tunduk terhadap ajarannya . Harta bisa menjadi buruk apabila orang-orang telah tertipu dengan harta, karena harta merupakan perhiasan dunia. Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.(QS Al-Kahfi: 46). 4. Hakikat Hak Milik a. Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki Pada hakikatnya harta merupakan milik Allah Swt. karena Allah-lah sebagai Zat yang memiliki segala kekayaan . Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt. menisbatkan kepemilikan harta langsung kepada Allah Swt. Artinya: “Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”. (QS Al-Nur: 33). Dalam ayat tersebut, Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti ‘harta milik Allah’. Allah merupakan pemilik mutlak dan hakiki atas seluruh harta yang ada di dunia ini b. Harta adalah Fasilitas bagi Kehidupan Manusia Setelah menyatakan bahwa Allah adalah pemilik harta, Allah kemudian menganugerahkannya kepada umat manusia. Penganugerahan dari Allah ini dalam rangka memberikan fasilitas bagi kehidupan manusia. Dialah yang telah memberikan segalanya kepada manusia, termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.(QS Al-Baqarah: 29). c. Allah Menganugerahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia Harta hakikatnya merupakan milik Allah Swt. Manusia hanyalah memiliki harta dalam arti diberi kuasa oleh Allah Swt. Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah ia berusaha mencarinya, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Harta ketika dikaitkan dengan manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh dengan cara yang legal menurut syariat Islam . Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil”. (QS Al-Baqarah:188). Seperti sudah dijelaskan di atas, hakikat harta sebenarnya adalah milik Allah. Kemudian Allah telah memberikan wewenang-Nya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Baqir Ash Shadr menyatakan prinsip beragam bentuk kepemilikan (the principle of diverse forms of ownership). Ini adalah suatu prinsip kepemilikan dalam Islam. Prinsip ini meyakini tiga bentuk kepemilikan; kepemilikan pribadi ( private property), kepemilikan negara (state ownership), dan kepemilikan publik (public ownership). Sedangkan menurut Didin Hafidhuddin , Islam telah menetapkan konsep kepemilikan dalam tiga hal, yaitu: 1. Hak Milik Pribadi (private property) Islam mengakui hak-hak individu dan tidak melarang individu memiliki segala jenis kekayaan yang diperoleh dengan cara yang halal. Kaum Muslim diperintahkan agar menjauhkan diri dari usaha pemilikan harta dengan jalan bathil. Sebab itu merupakan kejahatan dan dosa besar . Berkaitan dengan cara-cara seseorang mendapatkan harta yang sah, maka sumber sahnya hak milik pribadi menurut Sholahuddin adalah sebagai berikut, yaitu: a. Bekerja Islam mengarahkan bahwa motivasi dan alasan bekerja adalah dalam rangka mencari karunia Allah Swt. Tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, menikmati kesejahteraan hidup dan perhiasan dunia. Bekerja merupakan perwujudan dari pelaksanaan perintah syara’. Artinya: “Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (QS Al- Jumu’ah: 10). Pekerjaan yang dilakukan haruslah pekerjaan yang halal agar aktivitas bekerja ini bernilai ibadah dan harta yang didapatkan dari bekerja tersebut menjadi kepemilikan yang sah. b. Warisan Waris merupakan salah satu mekanisme pembagian harta milik orang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya. Hukum waris menyebabkan seorang ahli waris dapat memiliki harta sebagai hak atas bagian harta waris yang ada. Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS An-Nisa: 7). Hukum waris ditetapkan sebagai salah satu sarana untuk mendistribusikan kekayaan di tengah masyarakat. Pembagian kekayaan bukanlah dasar hukum bagi waris. Distribusi kekayaan hanyalah fakta atas terjadinya distribusi harta dalam hukum waris. Harta yang awalnya dimiliki oleh seseorang yang meninggal akhirnya terdistribusikan kepada apara ahli warisnya. c. Untuk Menyambung Hidup Setiap manusia wajib memperoleh hak untuk hidup. Bekerja merupakan salah satu penyebab yang dapat menjamin seseorang terpenuhi kebutuhannya dan terjaga kelangsungan hidupnya. Apabila di tengah kehidupannya tidak ada pekerjaan yang dapat dia kerjaan maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang tersebut. Apabila tidak mampu bekerja karena sakit atau terlampau tua atau ketidakmampuan lainnya, maka hidupnya ditanggung oleh orang yang diwajibkan oleh syara’. Dalam kondisi tidak ada lagi orang yang dapat menanggung nafkahnya, maka akan menjadi tanggungan negara. Allah Swt. berfirman: Artinya: “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”. (QS Al-Ma’arij: 24-25). d. Harta Pemberian Negara yang Diberikan kepada Rakyat Negara dapat memberikan sebagian harta kepada rakyat, baik secara langsung ataupun tidak langsung sehingga individu rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau agar dapat memanfaatkan kepemilikan mereka. Negara dapat memberikan sebidang tanah miliknya kepada individu masyarakat yang mampu menggarap pertanian namun tidak mempunyai lahan. Negara dapat pula memberikan modal kerja kepada individu yang mempunyai lahan, namun tidak memiliki modal pengelolaan. Negara juga dapat memberikan sejumlah harta untuk pembayaran hutang bagi individu yang tidak mampu melunasi hutangnya. e. Saling Menolong/Hubungan yang Halal antar Manusia Cara kepemilikan harta semacam ini dapat terjadi karena berbagai kondisi yaitu: 1) Hubungan pribadi antar individu menyebabkan adanya saling memberi dan menolong antarsesama. Seseorang dapat memperoleh harta karena hadiah, hibah, sedekah, bahkan dapat mendapatkan harta dari orang yang meninggal melalui wasiat yang diberikan. Kepemilikan seperti ini adalah sah menurut Islam. 2) Pemilikan harta sebagai ganti rugi dari kemudharatan seseorang. Seperti diyat, yaitu tebusan yang merupakan ganti rugi dari pelaku kejahatan kepada penderita karena dilukai orang atau kepada keluarga seseorang yang terbunuh jika dia tidak mau membalasnya dengan qishash atas pembunuh. Artinya: “Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)”. (QS Al-Nisa:92). Dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta, maka akan tampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini: a. Bekerja b. Warisan c. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup d. Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat e. Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun 2. Hak Milik Umum (collective property) Hak milik umum adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh Allah Swt., dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama. Seseorang atau sekelompok kecil orang dibolehkan mendayagunakan harta tersebut, tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi . Secara garis besar terdapat tiga bentuk harta kekayaan yang dikategorikan sebagai kepemilikan umum, antara lain sebagai berikut: a. Fasilitas umum b. Barang tambang c. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi yang dimiliki oleh individu 3. Hak Milik Negara Hak milik negara adalah harta hak seluruh umat yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara, di mana dia bisa memberikan sesuatu kepada sebagian umat sesuai dengan kebijakannya. Contoh hak milik negara diantaranya adalah kharaj, fai, jizyah, harta yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara. Beberapa kategori hak milik negara antara lain: 1) Padang Pasir, Gunung, Pantai dan Tanah Mati yang Tidak Ada Pemiliknya Padang pasir, gunung, bukit, lembah, tanah mati yang tidak terurus,dan belum pernah ditanami tanaman, atau yang pada mulanya pernah ditanami kemudian menjadi terbengkalai karena tidak terurus atau tidak dikelola pengelolanya, maka tanah tersebut menjadi milik negara. Negara boleh membagikannya dalam rangka kemaslahatan umat, juga boleh mengizinkan seseorang untuk menghidupkannya dan membebaskannya. Dalam riwayat disebutkan: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ أَقْطَعَ بِلاَل ابْنِ الحَارِثْ المَزنِي مَا بَينَ البَحرِ وَ الصَّخْرِ Artinya: “ Bahwa Rasulullah Saw. Memberi Bilal bin Harits al-Mazani (daerah) antara laut dan padang pasir.” 2) Tanah Endapan Sungai Yang dimaksud tanah endapan sungai adalah tanah-tanah yang tertutupi air, sehingga tanah itu tidak layak lagi untuk pertanian. Tanah ini tergolong tanah mati dan tetap menjadi milik negara selama belum ada yang memiliki. 3) Ash-Shawafi Ash-Shawafi yaitu tanah yang dikumpulkan negara dari tanah-tanah negeri taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal. Umar bin Khathab yang pertama kali memunculkan istilah ash- shawafi. Tanah-tanah ini mencakup tanah-tanah yang dahulunya milik negara yang ditaklukkan, milik penguasa atau para pemimpin negara itu, atau tanah orang yang tebunuh di medan perang, atau yang lari dari peperangan dan meninggalkan tanahnya. Khalifah yang mengatur semua itu untuk kebaikan dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. 4) Bangunan Istana, bangunan, balairung yang dikuasai oleh negara-negara yang ditaklukkan, atau bangunan penduduk yang ditinggal lari karena takut dengan kaum Muslimin, itu semua menjadi ghanimah dan menjadi milik negara. Termasuk pula milik negara adalah bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari harta baitul mal, lalu diperuntukkan untuk kepentingan negara. Selain itu, bangunan yang dihibahkan atau diwasiatkan untuk negara, semua itu milik negara. C. PENUTUP Pemilik mutlak dari harta dan jabatan pada dasarnya adalah Allah Swt. Sedangkan manusia hanyalah diberi kuasa oleh Allah Swt untuk mengelola harta tersebut setelah ia berusaha mencarinya. Islam mengakui hak-hak individu dan tidak melarang individu memiliki segala jenis harta atau kekayaan, asalkan harta atau kekayaan tersebut diperoleh dengan cara yang halal. D. DAFTAR PUSTAKA Afzalurrahman, 1997. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Jakarta. Yayasan Swarna Bhumy. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya. Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna (terjemahan). Jakarta. Zahra. Asy-Syurbasha, Ahmad. 1981. Al-Mu’jam Al-Iqtishod Al-Islamy. Daar Al-Jil. Hafidhuddin, Didin. 2007. Agar Harta Berkah dan Bertambah. Jakarta. Gema Insani Press. Mahmud Bably, Muhammad. 1999. Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam (terjemahan). Jakarta. Kalam Mulia. Sholahudin, Muhammad. 2007. Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta. Rajawali Press. Kategori : Umum | 8036 hits << Kembali ke Artikel |