Tulisan Artikel
Merindukan Pemimpin yang Adil dan dicintai Allah SWT.Ditulis pada hari Jumat, 28 Maret 2014 | 13:35 WIB | Oleh : Fitri masturoh Merindukan pemimpin yang adil, dalam lingkup apa saja nampaknya seperti memimpin keajaiban yang sangat langka. Ini bukan pesimisme. Atau apatisme. Tetapi kian hari kian rumit kerinduan ini harus kita eja dengan argumen yang rasional. Sebab di zaman ketika dusta telah begitu mewah dikemas dengan segala warna–warni hiasannya, menunjuk hidung pemimpin yang benar – benar baik dan adil tidaklah mudah. Sebab, kepemimpinan-lah menjadi mata rantai yang sangat panjang bagi siklus manipulasi, kolusi, dan perselingkuhan politik yang kotor. Kerinduan akan pemimpin yang adil adalah suara hati yang kekal, tulus dan fitrah dasar jiwa. Kerinduan kepada pemimpin yang baik adalah kebutuhan jiwa yang alami. Seperti anak – anak memimpikan ayah yang damai, ibu yang lapang, meski tinggal di rumah kardus. Makan nasi kelam dengan lauk tak berbumbu dan berasa. Hanya keadilan satu – satunya jembatan yang dijamin bisa mengantarkan hak-hak orang yang berhak. Ini makna lain dari rasa aman kolektif yang lebih luas dan berlapis–lapis, sebagai buah dari perilaku adil. Puncaknya, adalah rasa aman yang diterima orang karena ia tahu bahwa hak-haknya tidak akan diambil oleh orang lain. Al-Qur’an memandang kepemimpinan sebagai perjanjian Ilahi yang melahirkan tanggung jawab menentang kedzaliman dan menegakkan keadilan. Perhatikan firman Allah SWT, “ Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu ( hai Ibrahim ) pemimpin untuk seluruh manusia.” Dia ( Ibrahim ) berkata, ( saya memohon agar ) termasuk juga keturunan – keturunanku.” Allah berfirman,” Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang – orang yang dzalim.”(QS.Al-Baqarah: 124) Pernah Sayyidina Umar mengadakan suatu pertemuan besar dan menyatakan dihadapan para hadirin,” Para pejabat itu ditunjuk untuk tidak menganiaya atau merampas harta bendamu, melainkan mereka ditunjuk dan diangkat untuk mengajarimu sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika ada pejabat yang bertindak sebaliknya, maka beritahukan kepadaku sehingga dia harus terdesak untuk memperbaikinya.” Amr bin Al-Ash, Gubernur Mesir, lalu berdiri dan berkata,” Apakah engkau akan menghukum seorang pejabat yang memukul seseorang untuk melaksanakan kedisiplinan?” Sayyidina Umar menjawab,” Demi Allah yang jiwaku ada dalam genggamannya, bahwa aku pasti akan menghukumnya, karena aku sendiri telah melihat Rasulullah juga menghukum pejabat-pejabat yang berlaku demikian”. Ambilah peringatan ini dan janganlah kamu merampas hak–hak mereka kecuali terpaksa karena mereka melakukan kesalahan. Kepemimpinan dalam pandangan ayat diatas bukanlah sekedar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Yang disebut pemimpin tidak selalu berada pada scoop sebuah pemerintahan Negara, tapi juga yang lebih rendah dari itu. Pemimpin ditempat kerja, pemimpin organisasi, pemimpin rumah tangga dan sebagainya. Sebab, ditangan para penguasa itu bergantung urusan banyak orang. Kepada para pemimpin yang adil, Allah akan memberikan perlindungan pada hari kiamat dari panasnya matahari di Padang Mahsyar. Sebaliknya, pemimpin yang mati dengan menghianati amanah yang diberikan kepadanya, maka dia tidak akan mencium bau harumnya surga. Ada banyak kriteria kepemimpinan yang kita rindukan. Meski kata adil hampir mewakili semuanya. Pada potret-potret sejarah manusia-manusia adil di sepanjang waktu, kita bisa mengurai detil kerinduan itu. Siapa tahu,di antara orang-orang yang berani menjadi pemimpin itu, mau melirik dan meneladani. Meski bila ia melakukan itu, tak lebih merupakan sebentuk penunaian kewajiban. “PEMIMPIN YANG BERORIENTASI AKHIRAT”Memaknai orientasi akhirat dalam kepemimpinan artinya, segala hal-hal yang berada dalam otoritas kepemimpinan kita, kita jalankan dengan benar-benar menghitung, apakah ini akan berujung pada dosa dan murka Allah, atau bisa mendekatkan kita kepada-Nya. Hanya kalkulasi untung rugi di akhirat sajalah yang bisa membuat kita tunduk secara total, bukan pada performa kepemimpinan itu sendiri, apalagi hanya kepada mitos kewibawaan yang menyelimutinya.Seperti Umar bin Abdul Aziz. Orientasi akhirat yang dia pegang, menjadikan dirinya harus tegas menindak orang-orang yang ingin memanfaatkan jabatan-jabatannya untuk kepentingan mengejar dunia. Sampai–sampai kerabat Umar banyak yang merasa kesal. Mereka dengan terus terang mengaku rugi punya saudara seperti Umar bin Abdul Aziz. Mereka berkomentar,” Orang lain yang mempunyai saudara penguasa, hidupnya bertambah senang. Sedangkan kita menjadi miskin, karena fasilitas kita dicabut dan kegiatan bisnis kita dibatasi. Tak salah kita menganggap Umar penguasa dzalim.” Mendengar itu Umar segera menjawab,” Jika aku disebut dzalim karena melarang kaum kerabatku berbisnis dengan berlindung di balik kedudukanku sebagai khalifah, Insya Allah, aku termasuk orang mulia di hadapan Allah. Jika aku disebut dzalim karena memihak kaum fakir miskin dan membatasi eksploitasi ekonomi dan politik kaum konglomerat, Insya Allah, aku berada pada barisan Nabi, para Syuhada dan para Shiddiqin, dan terhindar dari godaan syaitan yang terkutuk. Jika Aku disebut dzalim karena membasmi nepotisme, mengembalikan sesuatu pada tempatnya dan mengikis habis kolusi, Insya Allah, aku termasuk orang yang menegakkan keadilan dan kebenaran semata – mata karena Allah.” “PEMIMPIN YANG MENYAYANGI DENGAN HATI IKHLAS” Pada era kekuasaan yang sudah kaya dengan teori, rakyat sedemikan tak kuasa menghindar dari jeratan pola hubungan kekuasaan dan yang dikuasainya. Maka, kepemimpinan menjadi sangat kering, hambar, terlampau protokolistik. Tak ada kasih sayang yang tulus, ketabahan bersama. Bahkan untuk sekedar bela sungkawa. Maka, orang-orang yang tak biasa menyayangi sepenuh hati sebaiknya tidak usah memimpin. Dalam lingkup apa saja. Terlebih memimpin bangsa yang sangat besar. Menyayangi tentu saja dalam konteks kebaikan. Seperti nasehat Rasulullah,” Tolonglah saudaramu yang dzalim atau pun terdzalimi.” Menolong saudara yang dzalim artinya menasehatinya dan menunjukkan jalan yang benar. Rasulullah sendiri bahkan punya kisah yang sangat unik, yang menunjukkan betapa ia sangat menyayangi orang-orang yang dipimpinnya. Di rumah ia suami yang baik, pemimpin bagi para istri-istrinya. Membantu urusan rumah tangga. Menambal bajunya sendiri, menjahit sendalnya. Lalu bila waktu shalat tiba ia segera bergegas menunaikan shalat bersama sahabat. Dengan gamblang Rasulullah, mengungkapkan,” Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik (perlakuannya ) kepada keluarganya. Dan aku adalah orang paling baik diantara kalian (dalam perlakuan) kepada keluarga.” Dengan anak-anak kecil Rasulullah sangat sayang. Cucu-cucunya, Hasan dan Husain, sangat dekat dengannya. Bila Rasulullah pulang, mereka yang menyambut dan bergelayutan. Bila shalat, kadang naik kepunggungnya. Rasul juga bergurau dengan nenek-nenek tua. Kepada anak-anak kecil dari pada sahabat, Rasulullah juga sangat sayang. Ketika seorang bayi anak sahabat buang air kecil dipangkuannya, ibunya segera memintanya dengan kasar. Rasul pun menegurnya, bahkan najis air anak kecil bisa dihilangkan, tapi perlakuannya yang kasar akan membekas di hati. Rasulullah bersabda,” Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian, dan kalian pun mencintai mereka. Yang kalian mendo’akan mereka, dan mereka pun mendo’akan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Yang melaknat kalian, dan kalian pun melaknat mereka.” Begitu Rasulullah menjelaskan. Di setiap jenis kepemimpinan, harus ada kasih sayang yang bersih. Bertumpu pada kedewasaan dan rasa tanggung jawab. Bukan hawa nafsu dan keinginan sesaat. “PEMIMPIN YANG BERANI MENUNAIKAN HAK ORANG YANG DIPIMPINNYA”. Ruang lingkup kepemimpinan, dalam bentuk yang kecil maupun besar, punya tanggung jawab besar untuk menunaikan hak-hak orang-orang yang dipimpinnya. Ada banyak kerinduan kita untuk para pemimpin. Pemimpin yang tidak rakus, yang tidak memakan harta rakyat dengan cara yang tidak sah. Pemimpin yang cerdas dan pandai menghadapi berbagai masalah. Kita rindu kepada begitu banyak tipe pemimpin yang baik. Kepemimpinan yang tidak ada penunaian hak-hak dengan baik hanya akan menjadi sumber kesengsaraan saja. Karena itu Umar bin Khattab, misalnya, sangat memperhatikan masalah ini, hingga dalam soal performa. Seperti nasehatnya untuk para penegak hukum.” Cerahkanlah wajahmu dalam setiap persidangan, agar orang-orang terhormat tidak mendekat untuk mempengaruhi keputusanmu. Demikian juga agar orang–orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilan yang akan engkau putuskan. Tunjukanlah bukti-bukti kepada orang-orang yang menuduh serta bersumpah bagi yang mengingkarinya. Tidak ada salahnya engkau membatalkan dan memutus ulang terhadap setiap perkara yang sudah ditetapkan sebelumnya, jika engkau menyadari bahwa keputusanmu terdahulu adalah keliru. Karena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik daripada larut dalam kebathilan dan kesalahan.” Bahkan perhatian besar tentang hak orang-orang yang pimpin itu terus ia pegang. Hingga ajal menjelang. Maka kepada calon Khalifah yang akan bersidang sepeninggal dirinya, ia pun, Umar bin Khattab berpesan,” Pertahankanlah lima hal khusus yang akan menyelamatkan agama kamu, sedang kamu sendiri akan mengambil manfaat dari hal itu yaitu, apabila datang kepadamu dua orang yang sedang bersengketa, maka kamu harus meminta bukti-bukti yang akan dipertanggung-jawabkan kebenarannya serta sumpah yang mantap. Dekatilah orang-orang yang lemah supaya mereka lebih berani memberikan keterangan, dengan hati yang mantap dan lidah yang lancar. Layanilah orang asing dengan baik, karena kalau kamu tidak melayaninya, maka dia akan meninggalkan hak dan kembali kepada keluarganya. Dia meninggalkan haknya karena tidak ada yang memberikan kasih sayang kepadanya. Lunakkanlah pandangan dan luangkan waktumu untuk orang lain. Serta semaikanlah perdamaian diantara orang-orang yang sedang menghadapi masalah yang tidak jelas.” Semoga Pimpinan Pondok kita Ust.H.Ahmad Deni Rustandi,M.Ag diberi keistiqomahan dalam memimpin Pondok Pesantren Darussalam dan semoga presiden di tahun 2014 termasuk kriteria Pemimpin yang adil dan dicintai oleh Allah SWT. Kategori : Religi | 4143 hits << Kembali ke Artikel |